Rabu, 28 Mei 2014

Janganlah Menyingkat Salam


 Kawan-kawan semua,
Ini tentang menyingkat salam, sholawat, pujian pada Allah dan juga doa. Banyak diantara kita meremehkan hal ini. Ada yang beralasan bahwa hal itu untuk menjadikan segalanya praktis dan hemat. Ada yang berdalih kalau segala sesuatu itu tergantung niatnya, kalau niatnya baik tidak masalah disingkat-singkat. Benarkah demikian?. Sering kita jumpai di kartu undangan pernikahan, majalah, surat kabar, SMS, email atau tulisan lainnya beberapa singkatan semisal SAW, SWT, Ass.wr.wb, Ass, Askum, Salom, Samlekum, Mikum, Jzklh, Jzkmlh, Brklhu fik, dsb. Bagaimanakah hukum penulisan singkatan diatas tersebut? Mari kita simak penjelasan dan fatwa ulama berikut.


Lafadz “aslkm” bahkan “ass” & singkatan yang sejenisnya bukan termasuk dlm kategori salam. Dan bagaimana lafadz-lafadz tersebut dapat disebut salam?, sementara dlm lafadz tersebut tak mengandung makna salam yaitu penghormatan & do’a bagi penerima salam. Bahkan lafadz “ass”, dlm perbendaharaan kosa kata asing memiliki pengertian yang tak sepantasnya dan mengandung unsur penghinaan (wal ‘iyyadzubillah).
1. As = orang bodoh ; keledai
2. Ass = pantat
3. Askum = celakalah kamu
4. Assamu = racun
5. Samlekum = matilah kamu
6. Salom/syalom= dari bhs Ibrani untuk sesama kristen dan ada 263 kata di dalam kitab perjanjian lama dan perjanjian baru.
7. Mikum = dari bahasa Ibrani, artinya Mari Bercinta
(sumber)
FATWA-FATWA ULAMA
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari http://www.bakkah.net
Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Bolehkah menulis huruf SAW yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Yang disyari`atkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad atau penyingkatan Salam dan Shalawat (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
(Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz; Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi; Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan; Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)
Perkaranya lebih ditekankan ketika menulis nama beliau dalam kitab, karya tulis, risalah, makalah, atau yang semisalnya berdasarkan dalil yang telah lewat. Ucapan shalawat ini disyariatkan untuk ditulis secara lengkap/sempurna dalam rangka menjalankan perintah Allah Aza Wajalla kepada kita dan agar pembaca mengingat untuk bershalawat ketika melewati tulisan shalawat tersebut. Tidak sepantasnya lafazh shalawat tersebut ditulis dengan singkatan misalnya shad1 atau slm1 ataupun singkatan-singkatan yang serupa dengannya, yang terkadang digunakan oleh sebagian penulis dan penyusun. Hal ini jelas menyelisihi perintah Allah Aza Wajalla dalam firman-Nya:
“… bershalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Dan juga dengan menyingkat tulisan shalawat tidak akan sempurna maksudnya serta tidak diperoleh keutamaan sebagaimana bila menuliskannya secara sempurna. Terkadang pembaca tidak perhatian dengan singkatan tersebut atau tidak paham maksudnya.
Menyingkat lafazh shalawat ini dibenci oleh para ulama dan mereka memberikan peringatan akan hal ini.
Ibnu Shalah
Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah Ibnu Shalah . Ibnu Shalah dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan Muqqadimah Ibnish Shalah mengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan memengatakan, “(Seorang yang belajar hadits ataupun ahlul hadits) hendaknya memerhatikan penulisan shalawat dan salam untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila melewatinya. Janganlah ia bosan menulisnya secara lengkap ketika berulang menyebut Rasulullah.”
Ibnu Shalah juga berkata, “Hendaklah ia menjauhi dua kekurangan dalam penyebutan shalawat tersebut:
Pertama, ia menuliskan lafazh shalawat dengan kurang, hanya meringkasnya dalam dua huruf atau semisalnya.
Kedua, ia menuliskannya dengan makna yang kurang, misalnya ia tidak menuliskan wassalam.
Al-‘Allamah As-Sakhawi
Al-‘Allamah As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, menyatakan, “Jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, dengan engkau menyingkatnya menjadi dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang jahil dari kalangan ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam. Mereka singkat lafazh shalawat dengan saw dan shad, Karena penulisannya kurang, berarti pahalanya pun kurang, berbeda dengan orang yang menuliskannya secara lengkap.
As-Suyuthi
As-Suyuthi berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, mengatakan, “Dibenci menyingkat shalawat dan salam dalam penulisan, baik dengan satu atau dua huruf seperti menulisnya dengan slm3, bahkan semestinya ditulis secara lengkap.”
Inilah wasiat saya kepada setiap muslim dan pembaca juga penulis, agar KAUM MUSLIMIN mencari yang utama atau afdhal, mencari yang di dalamnya ada tambahan pahala dan ganjaran, serta menjauhi perkara yang dapat membatalkan atau menguranginya.”
(Diringkas dari fatwa Asy-Syaikh Ibn Baz yang dimuat dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 2/396-399)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. III/No. 36/1428 H/2007, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, Hal. 89-91.
Hendaknya kita mulai sekarang menulis lengkap tulisan tersebut sebagaimana contoh berikut :
SAW dengan Shallalahu ‘alahi wassalam (صلى ا لله عليه وسلم)
SWT dengan Subhanallahu wa Ta’ala ( سبحانه وتعالى)
Ass.wr.wb dengan Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh (السلام عليكم)
Jzk dengan Jazakallahu khoiron katsir.
ADAB MENULIS SHALAWAT
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dlm kitab-Nya yang mulia, yang artinya,“Sesungguhnya Allah & Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat utk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu utk Nabi & ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Qs. Al-Ahzaab: 56).
SingkatanDalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di masa hidup maupun sepeninggal beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisi-Nya & membersihkan beliau dari tindakan atau pikiran jahat orang-orang yang berinteraksi dgn beliau.
Yang dimaksud shalawat Allah adalah puji-pujian-Nya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang dimaksud shalawat para malaikat adalah do’a & istighfar. Sedangkan yang dimaksud shalawat dari ummat beliau adalah do’a & mengagungkan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dlm kitab Bahjatun Naadzirin Syarah Riyadhush Shalihin Bab Shalawat Kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Disunnahkan –sebagian ulama mewajibkannya– mengucapkan shalawat & salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dgn ucapan: “shallallahu ‘alaihi wa sallam” (al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dlm kitab Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalam sebuah riwayat dari Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang (apabila) namaku disebut disisinya, kemudian ia tak bershalawat kepadaku shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal no. 1736, dgn sanad shahih)
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa disunnahkan bagi para penulis agar menulis shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh, tak disingkat (seperti SAW, penyingkatan dlm bahasa Indonesia) setiap kali menulis nama beliau.
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat juga mengatakan dlm kitab Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa disukai apabila seseorang menulis nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bershalawatlah dgn lisan & tulisan.
Ketahuilah saudariku, shalawat ummat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk dari sebuah do’a. Demikian pula dgn makna salam kita kepada sesama muslim. Dan do’a merupakan bagian dari ibadah. Dan tidaklah ibadah itu akan mendatangkan sesuatu selain pahala dari Allah Jalla wa ‘Ala. Maka apakah kita akan berlaku kikir dlm beribadah dgn menyingkat salam & shalawat, terutama kepada kekasih Allah yang telah mengajarkan kita berbagai ilmu tentang dien ini?.
apakah kita ingin menjadi hamba-hamba-Nya yang lalai dari kesempurnaan dlm beribadah?
KESIMPULAN
kalaupun niatnya baik “TAPI” cara yang digunakan adalah salah, maka tidak lain hasilnya salah. Insya Allah umat muslim tidak mempunyai jiwa bakhil untuk niat dan tujuan yang mulia
Mohon masukan, kritik dan tambahan bila terdapat kekeliruan dalam catatan ini, karena catatan ini dibuat semata-mata tujuan dakwah mengharap keridhoan Allah Azza Wajalla.
Karena kita bersaudara, kita harus saling mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seluruh kaum muslimin berharap jelasnya kebenaran dan kebatilan.Mengingatkan yang lupa dan memperbaiki yang salah jika diiringi dengan bukti-bukti dan dalil-dalil secara ilmiyah, justru akan mempererat ukhuwah islamiyah. Karena sudah merupakan kodrat manusia untuk berbuat salah dan lupa.
Untuk itu harus ada di tengah mereka saling nasehat-menasehati dengan kebenaran dan kesabaran. Maka -dalam rangka ukhuwah islamiyah- kita wajib mengingatkan kesalahan kaum muslimin dan menjelaskan penyimpangan dan kebid’ahan-kebid’ahan pada zaman sekarang ini dengan berharap semoga Allah menyelamatkan seluruh kaum muslimin dari kesesatan dan penyimpangan.
Wallahu Ta’ala a’lam bish showwab.

Senin, 26 Mei 2014

Sampaikan Ilmu Walau Satu Ayat




Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)
Seputar perawi hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy. Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat. Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.
Poin kandungan hadits :
Pertama:
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3). Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.” Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.
Kedua:
Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :
  1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
  2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama. Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah. Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.
Ketiga:
Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.
Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah. Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja. Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki. Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”. Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?! Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.
Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi  (http://haddady.com/ra_page_views.php?id=299&page=24&main=7)
Penerjemah: Yhouga Ariesta
Editor: M. A.  Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Ada Kemudahan dalam Kesulitan Ada Kemudahan dalam Kesulitan

”Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.” (Al Insyiroh [94]: 5-6). Pasti Terjadi
Dalam menjalani kehidupannya, manusia akan mendapati situasi enak atau tak enak, sebagai ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Apapun situasinya, nyaman atau tak nyaman, itu yang terbaik dalam skenario Allah SWT.
Jika kita sedang berada disituasi sulit, Allah SWT mengingatkan janji-Nya, sebagaimana disebut ayat di atas. ”Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.”
Menurut As-Suyuthi, Alam Nasyrah ayat 1 – 8 turun ketika kaum musyrikin memperolok-olok kaum Muslimin karena kekafirannya. Sementara, dalam suatu riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Al-Hasan, dikatakan bahwa ketika turun ayat “Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan” (Alam Nasyrah [94]: 6), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda, “Bergembiralah kalian, karena akan datang kemudahan bagi kalian. Kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Janji Allah “Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan” itu diulangi-Nya dua kali. Padahal, janji Allah pasti benar (Faathir [35]: 5) dan pasti terjadi (Al-Mursalaat [77]: 7).
Sebagian Bukti
Kisah Buya Hamka, Sayyid Quthb, dan Ibnu Taimiyah dapat kita jadikan rujukan. Hamka melahirkan karya tulis lebih dari 115 judul dalam berbagai bidang. Tafsir Al-Azhar adalah karya paling utamanya dan terbesar.
Sekitar awal 1964 Hamka ditahan rezim Orde Lama dengan tuduhan subversi, sebuah tuduhan yang sampai dia bebas dua tahun empat bulan kemudian tak pernah bisa dibuktikan secara hukum.
Hamka berkisah tentang pengalamannya dihari-hari pertama dia ditahan, “Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaan saya itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi, akal terus berjalan, maka ilham Allah datang. Cepat-cepat saya baca al-Qur’an, sehingga pada lima hari penahanan yang pertama saja, tiga kali al-Qur’an khatam dibaca.”
Lalu, Hamka atur jam-jam buat membaca dan menulis Tafsir al-Qur’an. Maka, menyusul kekacauan politik yang disebabkan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia, pada Mei 1966 Hamka dibebaskan. Saat itu, dia telah mengkhatamkan al-Qur’an 150 kali, dan selesai pula tafsir 28 juz. Sementara, yang dua juz yaitu juz 18 dan 19 telah diselesaikannya sebelum dia ditahan.
Maka, Hamka, meninggal pada 1982, berhak menasihati kita, bahwa hendaknya kita “Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan mengecewakan orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Di Mesir, ada Sayyid Quthb (lahir 1903) dan hafal al-Qur’an sejak masih anak-anak. Dia aktivis Ikhwanul Muslimin yang penuh semangat. Dia dipenjara rezim Gamal Abdel Nasser, sebelum akhirnya syahid dihukum mati pada 20 Agustus 1966.
Apa “kesalahan” dia? Saat Sayyid Quthb menulis sejumlah buku seperti Ma’aalim fit-Thariq (Petunjuk Jalan), 1964, yang berisi penolakan terhadap kebudayaan jahiliyah modern dalam segala bentuknya. Rezim Gamal Abdel Nasser yang menganut sosialisme Arab memandang itu sebagai sebuah kesalahan besar.
Dalam buku Ma’aalim fit-Thariq, Sayyid Quthb mengemukakan gagasan tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga pada struktur negara. Selama periode inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka. Buku inilah yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol hendak menumbangkan rezim Nasser.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Lindungan Al-Qur’an) diselesaikan Sayyid Quthb saat berada di penjara. Dan, Hamka mengaku, bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an “Banyak mempengaruhi saya dalam menulis Tafsir Al-Azhar.”
Selain Hamka, banyak ulama yang menilai Tafsir Fi Zhilalil Qur’an sebagai salah satu tafsir terbaik. Hujjah-nya kuat meneguhkan iman. Bahasanya indah menyejukkan hati. Pendek kata, tafsir itu mampu menggelorakan spirit iman, hijrah, dan jihad.
Jauh sebelum Hamka dan Sayyid Quthb, ada Ibnu Taimiyah yang lahir 1263 dan meninggal 1328. Masa hidupnya banyak dihabiskan di Damaskus. Dia bukan saja pernah tapi bahkan sering merasakan ‘manis’-nya penjara, karena sejumlah pendapat keagamaannya berbeda dengan yang dianut ulama-ulama lain yang dekat dengan penguasa ketika itu.
Ibnu Taimiyah –yang saat berusia dua puluh tahun telah bergelar profesor di bidang hukum dalam mazhab Imam Hanbali- berkali-kali dipenjara sebelum akhirnya syahid di dalamnya. “Kesalahan” dia, hanya karena perbedaan dalam memahami atau menafsiri al-Qur’an. Padahal, lewat fatwa-fatwanya, Ibnu Taimiyah berniat memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang datang dari luar Islam dan tak sesuai dengan Islam. Dia hendak memurnikan Islam dari segala bid’ah dan khurafat.
Tentu saja, di antara karya-karya besarnya (dari total 500-an judul karya tulisnya) lahir di penjara. Sebab, di penjara, Ibnu Taimiyah memiliki banyak kesempatan untuk membaca dan menulis. Hal itu, hikmah besar baginya. Maka, dia tak pernah sedih atau menyesal atas apa yang dialaminya. Hal itu, diyakininya sebagai ketentuan Allah yang tak boleh dibantah, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan yang akan didapat.
Ajaib, dan Benar!
Hamka, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah adalah sedikit contoh manusia beriman yang merasakan bukti keajaiban janji Allah bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Juga, bukti kebenaran sabda Nabi Muhammad SAW. Ada keajaiban yang dimiliki orang beriman. Yaitu, bahwa sesungguhnya semua persoalannya serba baik. Dan, hal itu hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Jika dia mendapat kesenangan, dia bersyukur. Dan, hal itu menambah kebaikan (pahala) baginya. Namun, bila dia ditimpa bencana/musibah, dia akan sabar. Dan, itu berarti kebaikan (pahala) baginya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah SAW kerap membuktikan sendiri. Misalnya, saat beliau bersembunyi di Gua Tsur dalam hijrahnya dari Mekkah ke Madinah. Abu Bakar yang sempat mengkhawatirkan keselematan Nabi Muhammad SAW, sempat bersedih. Lalu, Muhammad SAW meneguhkannya, dengan bersabda: “…..Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita..,” (At-Taubah [9]: 40).
Subhanallah! Kaum musyrikin pengejar Rasulullah SAW yang sempat mengepung di sekitar mulut gua menjadi terkecoh atas fakta-fakta yang tergelar di depan mereka. Di pintu gua, ada sarang laba-laba dan ada dua burung dara plus telurnya. Di pintu gua, ada ranting-ranting pohon. Sehingga, para pengejar berkesimpulan bahwa tak mungkin Muhammad masuk dan bersembunyi di gua, tanpa melewati pintu gua dengan terlebih dahulu membersihkan rintangan-rintangan tadi.
Senyum, Senyum!
Semua manusia di sepanjang kehidupannya pasti akan menjalani ujian demi ujian. Kesulitan yang dihadapinya adalah ujian, sebagaimana kemudahan yang ditemuinya pun merupakan ujian.
Jika kesulitan sedang melilit kita, hadapilah dengan sabar dan tawakkal. Yakinilah, bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Bukankah di sekitar kita, telah cukup banyak contoh-contoh yang transparan tentang hal itu? Maka, tetaplah tebarkan senyum di sepanjang langkah kehidupan kita, sebagai perlambang bahwa kita (akan) selalu lulus ujian. Allahu-Akbar! *M. Awar Djaelani/Suara Hidayatullah APRIL 2008

Nikmat sembunyikan amalan

Firman Allah, yg artinya ,” Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kpd Tuhannya dgn rasa takut & harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yg Kami berikan kpd mereka. Seorangpun tidak mengetahui apa yg akan disembunyikan utk mereka yaitu (bermacam) nikmat yg menyedapkan pandangan mata sbgi balasan thd apa yg telah mereka kerjakan ,” (Qs.As-Sajdah : 16 – 17).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yg hatinya selalu merasa cukup dan yg suka menyembunyikan amalannya.” (hr. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash.)
Ibn Sirin dalam Tafsir Al-Qurthubi, bhw Hasan Al-Basri berkata , kaum itu sembunyikan amal perbuatannya (dari pendangan orang lain), maka Allah-pun menyembunyikan khusus utk mereka, apa yg tidak bisa dilihat mata, tidak didengar telinga dan tidak terbetik di dalam hati manusi

Muhammad bin Ka’ab Al-Qardzy, menyatakan bahwa , mereka menyembunyikan amal mereka dari pandangan manusia karena Allah, maka Allah menyembunyikan pahala hanya untuk mereka. Jika mereka melihatnya , maka senanglah hati mereka.

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sudah sepatutnya bagi seorang alim memiliki amalan rahasia yang tersembunyi, hanya Allah dan dirinya saja yang mengetahuinya. Karena segala sesuatu yang ditampakkan di hadapan manusia akan sedikit sekali manfaatnya di akhirat kelak.” ( Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy,)
Saudaraku , hal diatas adalah keistimewaan pahala bagi hamba-hamba yang bangun malam untuk Qiyamullail , bermunajat kepada-Nya, membaca kalam-Nya, berdoa kepada-Nya, bersujud kepada-Nya. Mereka menyendiri dalam keheningan malam untuk Rabbnya.
Sungguh indah mereka menyambut malam dengan bermunajat.

Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Tiada seorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu berbagai nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan ,” (Hr Bukhari Muslim).

Ibn Abas dalam Tafsir Al-Qurthubi, menyatakan bahwa , masalah ini besar dan agung bagi siapa saja yang memahami penafsirannya.

Sebuah hadits , yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah Shallalahu alaihi wa Sallam, Allah berfirman , (yang artinya) ,” Aku telah sediakan untuk hamba-Ku yang shalih , sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata manusia atau didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati manusia “.

Amalan tersebunyi   men
yebabkan  kita lebih mudah mendapatkan ampunan dari Allah , sebagaimana Rasulullah bersabda,
كُلُّ أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yg melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yg justru bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yg ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yg membuka ‘aib-‘aibnya yg telah Allah tutup.”(hr Bukhari  6069 dan Muslim  2990, dari Abu Hurairah no. 26)
Imam Ahmad dalam  Az Zuhud,   Mawqi’ Jami’ bahwa Al HaditsAr Robi bin Khutsaim (murid ‘Abdullah bin Mas’ud ) tidak  pernah mengerjakan shalat sunnah di masjid kaumnya kecuali hanya sekali saja.
Abu Nu’aim Al Ash-bahaniy dalam Hilyatul Auliya’, menyatakan bahwa Ayub As Sikhtiyaniy memiliki kebiasaan bangun setiap malam. Ia pun selalu berusaha menyembunyikan amalannya. Jika waktu shubuh telah tiba, ia pura-pura mengeraskan suaranya seakan-akan ia baru bangun ketika itu.
Dalam  Hilyatul Auliya’, bahwa  ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali,  biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari dan  membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan,
إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِىءُ غَضَبَ الرَّبِّ عَزَّ وَ جَلَّ
Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Rabb ‘azza wa jalla.
Saudaraku, mari kita renungkan bagaimana Allah memberikan pahala instimewa atas ibadah mereka atau bangun malam mereka yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi dengan pahala yang disembunyikan, yang tidak diketahui oleh siapapun dan khusus hanya dibuka untuk mereka.

Para ulama  menjelaskan bahwa untuk amalan sunnah –seperti sedekah sunnah dan shalat sunnah-, maka lebih utama dilakukan sembunyi-sembunyi. Melakukan seperti inilah yang lebih mendekatkan pada ikhlas dan menjauhkan dari riya’. Sedangkan amalan wajib –seperti zakat yang wajib dan shalat lima waktu-, lebih utama dengan ditampakkan.( Syarh Muslim, An Nawawi, 3/481, Mawqi’ Al Islam.)
Begitu agungnya ibadah yang tersembunyi, seperti shalat malam, maka Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat malam. Diriwayatkan dari Ibnu umar ,bahwasanya dia melihat Rasulullah SAW tetap mengerjakan shalat malam dalam perjalanan walau diatas punggung unta.
Amal shaleh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan shalih walaupun hanya sebesar dzarrah. Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?”
Ibrahim An Nakho’i mengatakan, Kami tidak suka menampakkan amalan shalih yang seharusnya disembunyikan.
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia. (Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas).
Imam Al Ghozali mengatakan, Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.
Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yg dapat merusak amalan. Saudaraku, semoga kita diberi hidayah Allah untuk istiqamah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Allahu a’lam
Sumber : Muhammad bin Shalih ash Shai’ari dalam Kaifa Tatahammasu liqiyan al-lail
, Muhammad Abduh Tuasikal muslim.or.id

Aku ingin mencari keRidhaan ALLAH S.W.T,Aku bukan ingin mencari keRidhaan MANUSIA"Berjuang itu memang pahit,Kerana syurga itu Manis" aku hanyalah seorang pengembara di bumi Allah yg fana.. ~yakin pada Allah bknlah mengharap terkabul segala hrpn..yakin pada Allah bkn mgharap keindahan nikmat..yakin pada Allah adalah meletakkan keredhaan pd ketentuanNya..rasa bahagia dgn ujian walaupun perit..disitu air mata yg menitis terasa bernilai buat menyiram api neraka..indahnya tarbiyah Allah..tersirat rahmat dan ujian..diuji kita sbg tanda sygNya..~

CUKUPLAH AKU MENCINTAI DALAM DIAM


Kalau kita menyukai seseorang,
jangan beritahu si dia.
Nanti Allah kurangi rasa cinta padanya
Tapi lua
pkan pada Allah,
beritahulah Allah.
Allah Maha mengetahui siapa jodoh kita ..



Cintai Dia Dalam Diam,
Dari Kejauhan Dengan Kesederhanaan & Keikhlasan
Jika benar cinta itu karena Allah maka biarkanlah ia mengalir mengikuti aliran Allah karena hakikatnya ia berhulu dari ALLAH maka ia pun berhilir hanya kepada ALLAH!

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran ALLAH."
(Adz Dzariyat: 49)

Tetapi jika kelemahan masih nyata dipelupuk mata maka bersabarlah, berdoalah & berpuasalah

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji.
Dan suatu jalan yang buruk. "
(Al Israa ': 32)

Ketika kau mendambakan sebuah cinta sejati yang tak kunjung datang,
Allah SWT memiliki Cinta dan Kasih yang lebih besar dari segalanya & Dia telah menciptakan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupmu kelak.

Ketika kau merasa bahwa kau mencintai seseorang,
namun kau tahu cintamu tak terbalas
Allah SWT tahu apa yang ada di depanmu & Dia sedang mempersiapkan segala yang terbaik untukmu

Cukup cintai dalam diam
bukan karena membenci hadirnya
tetapi menjaga kesuciannya
bukan karena menghindari dunia
tetapi meraih surga-NYA
bukan karena lemah untuk menghadapinya
tetapi menguatkan jiwa dari godaan setan yang begitu halus dan menyelusup

Cukup cintai dari kejauhan
karena hadirmu tiada kan mampu menjauhkan dari
ujian
karena hadirmu hanya akan menggoyahkan iman dan ketenangan
karena mungkin membawa kelalaian hati-hati yang terjaga

Cukup cintai dengan kesederhanaan
Memupuknya hanya akan menambah penderitaan
menumbuhkan harapan hanya akan membumbui kebahagiaan para setan
Cintailah dengan keikhlasan

Karena tentu kisah Fatimah dan Ali Bin Abi Thalib diinginkan oleh hati
tetapi sanggupkah jika semua berakhir seperti sejarah cinta Salman Al Farisi ..??

".. bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
ALLAH mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. "
(Al Baqarah: 216)

Jangan memberi harapan pada yang belum pasti,
kelak ada insan yang bakal dilukai,
Jangan menaruh harapan pada yang belum tentu dimiliki,
nanti hati yang kecewa sendiri.

Sebaliknya,
gantunglah segenap pengharapanmu kepada Yang Maha Memberi,
niscaya dirimu tak sesekali dizalimi,
karena Dia mendengar pengharapanmu setiap kali & Dia menunaikannya dgn cara-Nya sendiri
Cukup cintai dalam diam dari kejauhan dengan kesederhaan & keikhlasan
Karena tidak
ada yang tahu rencana Tuhan
mungkin saja rasa ini
adalah ujian yang akan melapuk atau membeku dengan perlahan
Karena hati ini begitu mudah untuk dibolak-balikkan
serahkan rasa itu pada Yang Memberi dan Memilikinya
biarkan DIA yang mengatur semuanya hingga keindahan itu datang pada waktunya.

"Barangsiapa yang menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga."
(Umar Bin Khattab)

If you really love her, you
won’t touch her.
Not even the slightest bit.
You’ll protect her dignity and sacredness as a muslimah.
Just hold her in your heart for
a few more years ..
then you can do it the halal way

"Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah & menikah karena Allah, maka berarti ia telah sempurna imannya."
(HR. Al-Hakim)

P / S PDH: Sebelum tiba waktunya untuk kamu halal bersama si dia, tahanlah hatimu. Tahanlah perasaanmu. Jika perasaan itu tidak tertahan lagi, coretkan segala isi hatimu tentang cinta & rindu, tentang doa & harapanmu padanya dalam tulisan. Dan simpanlah
tulisan yang tidak beralamat itu sebaik mungkin.
Bila tiba saatnya kamu disatukan, maka serahkanlah segala isi hatimu itu padanya. Dia pasti bahagia menerimanya, tapi jika waktu itu belum tiba. Biarlah ia menjadi RAHASIA antara dirimu dan Sang Pencipta saja karena kelak jika dia bukan milikmu, bakarlah coretan itu bersama hilangnya wajah si dia dari hatimu ...

Jadikanlah Kematian Sebagai Nasehat

Saudara saudaraku seiman..

Tiada kata yang paling pantas kita senandungkan pada hari yang berbahagia ini melainkan kata-kata syukur kepada Allah Subhanahu wa ta'ala ; yang telah mencurahkan kenikmatan- kepada kita sehingga kita berkumpul dalam majelis ini. Kita realisasikan rasa syukur kita dengan melakukan perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya.

Kemudian tidak lupa kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jama’ah semuanya, marilah kita tingkatkan kualitas iman dan taqwa kita, karena keimanan dan ketaqwaan merupakan sebaik-baik bekal menuju akhirat nanti.

Kehidupan seseorang di dunia ini dimulai dengan dilahirkan-nya seseorang dari rahim ibunya. Kemudian setelah ia hidup beberapa lama, iapun akan menemui sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari, kenyataan sebuah kematian yang akan menjemput-nya.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:

“Tiap-tiap jiwa akan merasakan kematian dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan pahalamu, barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung dan kehidupan dunia hanyalah kehi-dupan yang memperdaya-kan”. (Ali-Imran: 185)

Ayat di atas adalah merupakan ayat yang agung yang apabila dibaca mata menjadi berkaca-kaca. Apabila didengar oleh hati maka ia menjadi gemetar. Dan apabila didengar oleh seseorang yang lalai maka akan membuat ia ingat bahwa dirinya pasti akan menemui kematian.

Memang perjalanan menuju akhirat merupakan suatu perjalanan yang panjang. Suatu perjalanan yang banyak aral dan cobaan, yang dalam menempuhnya kita memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Yaitu suatu perjalanan yang menentukan apakah kita termasuk penduduk surga atau neraka.

Perjalanan itu adalah kematian yang akan menjemput kita, yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kita dengan alam akhirat. Karena keagungan perjalanan ini, Rasulullah telah bersabda:
لَوْتَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا.
“Andai saja engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan sedikit tertawa dan banyak menangis”. (Mutafaq ‘Alaih)
Maksudnya apabila kita tahu hakekat kematian dan keadaan alam akhirat serta kejadian-kejadian di dalamnya niscaya kita akan ingat bahwa setelah kehidupan ini akan ada kehidupan lain yang lebih abadi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. (Al-A’la: 17).
Akan tetapi kadang kita lupa akan perjalanan itu dan lebih memilih kehidupan dunia yang tidak ada nilainya di sisi Allah.

Marilah kita siapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk menyempurnakan perjalanan itu, yaitu dengan melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala Dan marilah kita perbanyak taubat dari segala dosa-dosa yang telah kita lakukan. Seorang penyair berkata:

Lakukanlah bagimu taubat yang penuh pengharapan. Sebelum kematian dan sebelum dikuncinya lisan. Cepatlah bertaubat sebelum jiwa ditutup. Taubat itu sempurna bagi pelaku kebajikan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala’ berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”. (At-Tahrim: 8)
Ingatlah wahai saudaraku.

Di kala kita merasakan pedihnya kematian maka Rasulullah sebagai makhluk yang paling dicintai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ.
“Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah, sesungguhnya di dalam kematian terdapat rasa sakit”. (H.R. Bukhari)
Ingatlah di kala nyawa kita dicabut oleh malaikat maut. Nafas kita tersengal, mulut kita dikunci, anggota badan kita lemah, pintu taubat telah tertutup bagi kita. Di sekitar kita terdengar tangisan dan rintihan handai taulan yang kita tinggalkan. Pada saat itu tidak ada yang bisa menghindarkan kita dari sakaratul maut. Tiada daya dan usaha yang bisa menyelamatkan kita dari kematian. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya”. (Qaaf: 19)

Allah juga berfirman:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan-mu, kendatipun kamu berada di benteng yang kuat”. (An-Nisaa’: 78)

Cukuplah kematian sebagai nasehat, cukuplah kematian menjadi-kan hati bersedih, cukuplah kematian menjadikan air mata berlinang. Perpisahan dengan saudara tercinta. Penghalang segala kenikmatan dan pemutus segala cita-cita.

Marilah kita tanyakan kepada diri kita sendiri, kapan kita akan mati ? Di mana kita akan mati ?

Demi Allah, hanya Allah-lah yang mengetahui jawabannya, oleh karenanya marilah kita selalu bertaubat kepada Allah dan jangan kita menunda-nunda dengan kata nanti, nanti dan nanti.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: 

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejelekan lantaran kejahilannya, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima oleh Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejelekan (yang) hingga apabila datang kematian kepada seseorang di antara mereka, mereka berkata: Sesungguhnya aku bertaubat sekarang”. (An-Nisaa’: 17-18)

Marilah kita tanyakan kepada diri kita. apa yang menjadikan diri kita terperdaya dengan kehidupan dunia, padahal kita tahu akan meninggalkannya. Perlu kita ingat bahwa harta dan kekayaan dunia yang kita miliki tidak akan bisa kita bawa untuk menemui Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya amal shalihlah yang akan kita bawa nanti di kala kita menemui Allah.

Maka marilah kita tingkatkan amalan shaleh kita sebagai bekal nanti menuju akhirat yang abadi.
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَقُولُ قَوْ لِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Saudara saudaraku seiman...

Marilah kita mencoba merenungi sisa-sisa umur kita, muhasabah pada diri kita masing-masing. Tentang masa muda kita, untuk apa kita pergunakan. Apakah untuk melaksanakan taat kepada Allah ataukah hanya bermain-main saja ? Tentang harta kita, dari mana kita peroleh, halalkah ia atau haram ? Dan untuk apa kita belanjakan, apakah untuk bersedekah ataukah hanya untuk berfoya-foya? Dan terus kita muhasabah terhadap diri kita dari hari-hari yang telah kita lalui.
Perlu kita ingat, umur kita semakin berkurang. Kematian pasti akan menjemput kita. Dosa terus bertambah. Lakukanlah taubat sebelum ajal menjemput kita. Waktu yang telah berlalu tidak akan kembali lagi


 Oleh : Agus hasan Bashori, Lc

hukum sebab akibat menurut pandangan islam

Hukum Sebab Akibat 
Hal pertama yang harus kita sadari dalam rangka Pengembangan Diri adalah berlakunya Hukum Sebab Akibat.  Hukum ini menyatakan bahwa adanya sekarang merupakan akibat yang dipikirkan dari sebelumnya sebagai respon atas pilihan-pilihan yang terjadi.
Di dalam al-Quran banyak sekali ayat yang menjelaskan hukum sebab akibat ini, salah satunya terdapat dalam QS Ibrahim 7,  “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Dengan sebab kamu bersyukur, maka akibatnya Alloh menambah nikmat dan sebaliknya dengan sebab kamu tidak bersyukur maka akibatnya azab yang sangat pedih. 
Begitupula dalam QS Alzalzalah 7-8 :

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”

Sebab mengerjakan kebajikan atau kejahatan, akibatnya akan melihat balasannya.
Dari hukum sebab akibat ini, dapat diturunkan empat hukum yang lainnya, yakni sebagai berikut:
  1. Hukum Keyakinan. Apapun yang kita yakini dengan sepenuh hati, maka ia  akan menjadi kenyataan. Jika kita meyakini bahwa manusia itu baik maka niscaya kita akan menemui orang baik, namun sebaliknya jika kita meyakini manusia itu buruk maka kita akan menemui orang yang buruk. Hal ini sesuai dengan isi al-Quran bahwa Alloh SWT mengikuti prasangka hamba-Nya Jadi berhati-hatilah dengan keyakinan.
  1. Hukum Harapan. Apapun yang kita harapan dengan penuh percaya diri akan menjadi harapan yang terpenuhi.
  1. Hukum Ketertarikan. Kita adalah magnet hidup yang menarik orang-orang, situasi dan keadaan yang sejalan dengan pikiran dominan ke dalam hidup kita.
  1. Hukum Kesesuaian. Dunia luar merupakan cermin dunia dalam kita.
Seperti disebutkan dalam pembukaan di atas, kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat adalah dambaan setiap orang. Di dunia mendapatkan sukses 4TA (HARTA, TAHTA, KATA dan CINTA) sementara di akhirat kelak masuk surga. Kalau kita telaah lebih lanjut 4TA merupakan suatu AKIBAT (to have). Untuk menggapai akibat maka kita harus melakukan SEBAB (to be to do) yakni berpikir, bertindak dan bersikap positif, produktif dan kontributif atau 5AS dan 1MA (KERJA KERAS, CERDAS, IKHLAS, TUNTAS, KUALITAS, PLUS KERJA SAMA SINERGIS).
Dalam kenyataannya, tidak mudah untuk melakukan SEBAB itu, kitapun perlu menangkal pengaruh orang-orang negatif yang selalu mengatakan:  

Tidak selalu kebaikan dibalas kebaikan…air susu dibalas dengan air tuba, Ini zaman edan…tidak ikut edan maka nggak dapat kebagian, Jangankan cari yang halal… yang haram saja susah, dll.
Hukum Kekekalan Enegi
Setelah kita meyakini adanya hukum SEBAB AKIBAT, maka ada lagi hukum yang berlaku dalam kehidupan ini yaitu Hukum Kekekalan Energi. Segala sesuatu di alam semesta ini pada hakekatnya adalah energi. Kalau kita ZOOM IN wujud tubuh kita, maka kita akan mendapati organ tubuh, sel, molekul, atom, dan terakhir adalah energi yang bergetar (vibrasi). Energi di dunia bersifat tetap, ia tidak pernah diciptakan lagi dan tidak pernah hilang.
Lalu apa relevansi dari hukum kekekalan energi dengan hukum sebab akibat?
Hubungannya adalah TOTAL USAHA sama dengan HASIL USAHA TAMPAK plus TABUNGAN ENERGI. Semua tabungan energi akan mencair sebelum seseorang meninggal dunia.  Tabungan energi positif akan meningkatkan 4TA, sementara tabungan energi negatif akan mengurangi 4TA. Jadi hakekat strategi pengembangan diri adalah bagaimana kita menebarkan energi positif sebesar-sebarnya (melimpah ruah). Rizki yang datang secara tak terduga merupakan salah satu contoh pencairan energi positif, sementara bencana / azab merupakan salah satu contoh pencairan energi negatif . Mari kita perhatikan QS Hud 15, sebagai berikut:
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”.
Sikaf Proaktif
Salah satu kebiasan sukses yang harus kita jalani untuk memperoleh tabungan energi positif adalah sikaf Proaktif. Kita bukan sekedar menjemput bola (inisiatif), namun bertenggung jawab 100 persen memilih respon terbaik terhadap even, atau stimulus terburuk sekalipun. Tidak salah kalau dalam keseharian kita selalu meminta Do’a kedamaian hati kepada Alloh SWT, yakni  “Ya Alloh anugerahi kami kedamaian hati untuk menerima hal yang tidak dabat diubah, Kemampuan mengubah hal-hal yang dapat dan perlu diubah, serta  kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan antara halal dan haram”.
Sikap proaktif akan memberikan pengaruh lebih lanjut terhadap self awareness, imagination, furqon, conscience, dan independent will. Seseorang akan memberikan stimulus yang lebih baik dibanding yang ia terima, Hal ini sejalan dengan pengejawantahan nilai Annisa 86, “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).  Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”.
Saat tetangga mengirim mangkok kristal anggur, maka isilah  kembali mangkok itu dengan isi yang lebih baik plus do’a kebaikan, keberkahan dan keselamatan. Hal ini sejalan dengan nilai al-Fushilat 34.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.  Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. 41:34)
Begitu pula saat ada orang yang menghina, lebih baik kita tidak membalas dendam. Sebaliknya, berilah ia hadiah. Karena saat  kita teraniaya setidaknya kita memiliki dua keuntungan yaitu, Doa orang teraniaya akan dikabulkan dan tabungan positif orang yang menghina akan ditransfer ke dalam diri kita, sehingga kita menerima energi positif secara gratis.
Batu Besar vs. Kerikil
Kiat lebih lanjut untuk mendapatkan AKIBAT di atas adalah melaksanakan amalan yang prioritas atau BATU BESAR. Sebaliknya jangan terlalu disibukkan dengan amalan KERIKIL. Amalan BATU BESAR memberikan dampak yang besar dalam hidup kita, dengan input 20 kita memperoleh output 80. Kelola waktu sebaiknya untuk melakukan amalan BATU BESAR ini. Amalan BATU BESAR itu ialah Qiyamullail, Shalat subuh berjamaah, Memakmurkan Mesjid, Mengaji dan mengkaji al-Qur’an, Sholat Dhuha, Menjaga Wudhu, Bersedekah, dan memperbanyak istighfar.

Hukum Menyemir Rambut

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Setelah kita mengetahui hukum mencabut uban, berikut ini adalah pembahasan mengenai menyemir uban dan menyemir rambut secara umum. Semoga Allah memudahkan kami untuk menjelaskan hal ini dan semoga para pembaca dimudahkan untuk memahaminya.
Ubahlah Uban Untuk Menyelisihi Ahli Kitab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memerintahkan kita untuk menyelisihi ahli kitab di antaranya adalah dalam masalah uban.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)
Manakah yang lebih utama antara membiarkan uban ataukah mewarnainya?
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Para ulama salaf yakni sahabat dan tabi’in berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai larangan mengubah uban [Namun hadits yang menyebutkan larangan ini adalah hadits yang mungkar atau dho’if, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah].
… Sebagian mereka berpendapat pula bahwa lebih utama merubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga di antara mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini. ” (Nailul Author, 1/144, Asy Syamilah). Jadi dapat kita katakan bahwa mewarnai uban lebih utama daripada tidak mewarnainya berdasarkan pendapat sebagian ulama. Adapun pendapat yang mengatakan lebih utama membiarkan uban daripada mewarnainya, maka ini adalah pendapat yang lemah karena dibangun di atas hadits yang lemah.
Ubahlah Uban dengan Pacar dan Inai
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu  berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Hal ini menunjukkan bahwa menyemir uban dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai) adalah yang paling baik. Namun boleh juga menyemir uban dengan selain keduanya yaitu dengan al wars (biji yang dapat menghasilkan warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron. Sebagaimana sebagian sahabat ada yang menyemir uban mereka dengan kedua pewarna yang terakhir ini.
Abu Malik Asy-ja’iy dari ayahnya, beliau berkata,
كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ
“Dulu kami menyemir uban kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan wars dan za’faron”. (HR. Ahmad dan Al Bazzar. Periwayatnya adalah periwayat kitab shahih selain Bakr bin ‘Isa, namun dia adalah tsiqoh –terpercaya-. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Al Hakam bin ‘Amr mengatakan,
دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ ، فَقَال عُمَرُ : هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ . وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ : هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ
“Aku dan saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin ‘Umar (bin Khaththab). Aku sendiri menyemir ubanku dengan hinaa’ (pacar). Saudaraku menyemirnya dengan shufroh (yang menghasilkan warna kuning). ‘Umar lalu berkata: Inilah semiran Islam. ‘Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’: Ini adalah semiran iman.” (HR. Ahmad. Di dalamnya ada ‘Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya. Namun periwayat lainnya adalah periwayat yang tsiqoh. Lihat Majma’ Az Zawa’id)
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Adapun ancaman bagi orang yang merubahnya dengan warna hitam disebutkan dalam hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shahihnya, dan Al Hakim. Al Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih). Karena dikatakan tidak akan mencium bau surga, maka perbuatan ini termasuk dosa besar. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 60/23, 234/27)
Sebenarnya jika menggunakan katm (inai) akan menghasilkan warna hitam, jadi sebaiknya katm tidak dipakai sendirian namun dicampur dengan hinaa’ (pacar), sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan. Lalu setelah itu digunakan untuk menyemir rambut. (Lihat Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 234/27)
Bolehkah menggunakan jenis pewarna lainnya –selain inai dan pacar, inai saja, za’faron dan wars- untuk mengubah uban semacam dengan pewarna sintetik? Jawabannya: boleh karena yang penting adalah tujuannya tercapai yaitu merubah warna uban selain dengan warna hitam. Sebagaimana keumuman hadits:
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim). Di sini menggunakan kata syaa-i’, bentuk nakiroh, yang menunjukkan mutlak (baca: umum). Namun kalau pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut, malah membentuk lapisan tersendiri di kulit rambut, maka pewarna semacam ini harus dihindari karena dapat menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut ketika berwudhu sehingga dapat menyebabkan wudhu tidak sah. Wallahu a’lam.
Bagaimana Jika Menyemir Uban Dengan Warna Hitam Untuk Membuat Penampilan Lebih Menarik?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsamin pernah ditanyakan mengenai menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, apakah dibolehkan?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Menyemir jenggot atau rambut kepala dengan warna hitam, maka aku katakan semuanya adalah haram. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tapi hindarilah warna hitam”. Juga dalam masalah ini terdapat dalil dalam kitab sunan yang menunjukkan ancaman bagi orang yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Kemudian yang bertanya kembali berkata: Apakah tidak boleh juga kalau maksudnya adalah untuk mempercantik diri?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Umumnya yang mewarnai ubannya dengan warna hitam, tujuannya adalah untuk mempercantik diri, agar terlihat lebih muda. Kalau tidak demikian, lalu apa tujuannya?! Perbuatan semacam ini hanya akan membuang-buang waktu dan harta. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 1/5, Mawqi’ Asy Syabkah Al Islamiyah)
Bagaimana Jika yang Masih Muda Muncul Uban, Bolehkah Diubah (Disemir)?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin ditanyakan: “Seorang pemuda sudah nampak padanya uban. Dia ingin merubah uban tersebut dengan warna hitam. Bagaimana hukum mengenai hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab: Ini termasuk mengelabui (tadlis). Seseorang yang ingin menikah, lalu di kepalanya terdapat uban sedangkan dia masih muda, maka melakukan semacam ini termasuk mengelabui (tadlis). Akan tetapi kami katakan bahwa yang lebih utama jika dia ingin mengubah ubannya tadi, maka gunakanlah warna selain hitam. Dia boleh mencampur hina’ (pacar) dan katm (inai), lalu dia gunakan untuk menyemir ubannya. Pada saat ini, tidak nampak lagi uban. Bahkan perbuatan ini adalah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merubah uban dengan warna selain hitam. Adapun merubah uban tadi dengan warna hitam, maka yang benar hal ini termasuk perbuatan yang diharamkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita menjauhi warna hitam ketika akan menyemir rambut, bahkan terdapat ancaman yang sangat keras mengenai hal ini dalam sabda beliau. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 188/23)
Bagaimana Hukum Menyemir (Memirang) Rambut yang Semula Berwarna Hitam Menjadi Warna Lain?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin pernah ditanyakan, “Apakah boleh merubah rambut wanita yang semula berwarna hitam disemir menjadi warna selain hitam misalnya warna merah?”
Syaikh rahimahullah menjawab:
Jawaban dari pertanyaan mengenai menyemir rambut wanita yang berwarna hitam menjadi warna selainnya, ini dibangun di atas kaedah penting. Kaedah tersebut yaitu hukum asal segala adalah halal dan mubah. Inilah kaedah asal yang mesti diperhatikan. Misalnya seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia berhias sesuai dengan kemauannya, maka syari’at tidak melarang hal ini. Menyemir misalnya, hal ini terlarang secara syar’i karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna hitam”. Jika seseorang merubah uban tersebut dengan warna selain hitam, maka inilah yang diperintahkan sebagaimana merubah uban dengan hinaa’ (pacar) dan katm (inai). Bahkan perkara ini dapat termasuk dalam perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at, artinya boleh -pen).
Oleh karena itu, kami dapat merinci warna menjadi 3 macam:
Pertama adalah warna yang diperintahkan untuk digunakan seperti hinaa’ untuk merubah uban.
Kedua adalah warna yang dilarang untuk digunakan seperti warna hitam untuk merubah uban.
Ketiga adalah warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Dan setiap perkara yang syari’at ini diamkan, maka hukum asalnya adalah halal .
Berdasarkan hal ini, kami katakan bahwa hukum mewarnai rambut untuk wanita (dengan warna selain hitam) adalah halal. Kecuali jika terdapat unsur merubah warna rambut tersebut untuk menyerupai orang-orang kafir, maka di sini hukumnya menjadi tidak diperbolehkan. Karena hal ini termasuk dalam masalah tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sedangkan hukum tasyabuh dengan orang kafir adalah haram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Yang namanya tasyabbuh (menyerupai orang kafir) termasuk bentuk loyal (wala’) pada mereka. Sedangkan kita diharamkan memberi loyalitas (wala’) pada orang kafir. Jika kaum muslimin tasyabbuh dengan orang kafir, maka boleh jadi mereka (orang kafir) akan mengatakan, “Orang muslim sudah pada nurut kami.” Sehingga dengan ini, orang-orang kafir tersebut menjadi senang dan bangga dengan kekafiran yang mereka miliki. Dan perlu diketahui pula bahwa orang yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir, mereka akan selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada orang kafir. Oleh karena itu, mereka akan selalu mengikuti jejak orang kafir tersebut.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh seorang muslim dengan orang kafir saat ini adalah bagian dari loyal kepada mereka dan bentuk kehinaaan di hadapan mereka.
Juga dapat kita katakan bahwa tasyabbuh dengan orang orang kafir termasuk bentuk kekufuran karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”. Oleh karena itu, jika seorang wanita menyemir rambut dengan warna yang menjadi ciri khas orang kafir, maka menwarnai (menyemir) rambut di sini menjadi haram karena adanya tasyabbuh.” (Al Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 15/20)
Namun ada penjelasan lain dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan. Beliau hafizhohullah mengatakan,
“Adapun mengenai seorang wanita mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi warna lainnya, maka menurutku hal ini tidak diperbolehkan. Karena tidak ada alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah suatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut semacam ini juga termasuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir).” (Tanbihaat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat, hal. 14, Darul ‘Aqidah)
Jika kita melihat dari dua penjelasan ulama di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum menyemir rambut, jika ada hajat semacam sudah beruban, maka pada saat ini dibolehkan bahkan diperintahkan. Namun apabila rambut masih dalam keadaan hitam, lalu ingin disemir (dipirang) menjadi warna selain hitam, maka hal ini seharusnya dijauhi. Kenapa kita katakan dijauhi?
Jawabannya adalah karena mewarnai rambut yang semula hitam menjadi warna lain biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir atau pun meniru orang yang gemar berbuat maksiat (baca: orang fasik) semacam meniru para artis. Inilah yang biasa terjadi. Apalagi kita melihat bahwa orang yang bagus agamanya tidak pernah melakukan semacam ini (yakni memirang rambutnya). Jadi perbuatan semacam ini termasuk larangan karena rambut hitam sudahlah bagus dan tidak menunjukkan suatu yang jelek. Jadi tidak perlu diubah. Juga melakukan semacam ini termasuk dalam pemborosan harta. Wallahu a’lam bish showab.
Demikian pembahasan yang kami sajikan mengenai uban dan menyemir rambut. Semoga pembahasan kali ini bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah selalu memberikan kita ketakwaan dan memberi kita taufik untuk menjauhkan diri dari yang haram.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
****


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, SS
Artikel www.muslim.or.id